Kamis, 08 Juni 2017

RANCANGAN PERUBAHAN UU 24 TAHUN 2007

[Edi Basuki]> …Kegiatan focus group discussion (FGD) dalam rangka uji sahih Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Undang-Undang nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, berlangsung di ruang Rapat Utama BPBD Provinsi Jawa Timur, kamis (8/6). Berlangsung dinamis, walau dalam suasana puasa Ramadan.

Kegiatan yang digelar oleh Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) ini merupakan masukan dari MPBI untuk merubah Undang-Undang Kebencanaan agar sesuai dengan kebutuhan dan visi isi pemerintah Jokowi. Termasuk menyesuaikan dengan perubahan paradigm kebencanaan itu sendiri.

Menurut Panitia Perancang Undang-Undang, masih ada beberapa problem yang harus segera diperbaiki. Seperti problem konsep kebencanaan, problem radaksional di UU 24 tahun 2007 yang tidak tegas, rancu, dan mendua sehingga bisa menimbulkan makna ganda. Serta problem koordinasi penanggulangan bencana antar BPBD, SKPD, TNI dan POLRI, yang di beberapa daerah masih lemah.

Yang menarik dari rencana perubahan tersebut adalah dimasukkannya pasal tentang kewajiban pemerintah daerah mengalokasikan dana penanggulangan bencana paling sedikit 1 (satu) persen dalam APBN dan APBD, untuk kegiatan pra bencana, tanggap darurat dan pasca bencana. Di pasal lain disebutkan, Pemerintah pun dapat menganggarkan dana alokasi khusus dari APBN, untuk daerah berdasarkan tingkat risiko bencana.

Sementara Hendro, dari unsur pengarah BPBD Jatim, mengharapkan agar istilah relawan bencana dan ahli bencana dimasukkan dalam pasal tersendiri. Termasuk issue gender dalam rangka menumbuhkan budaya sadar bencana bisa dipertimbangkan oleh Panitia Perancang Undang-Undang DPD-RI, untuk disisipkan pada pasal tertentu yang relevan.

Saat dibuka acara Tanya jawab, animo peserta FGD, terutama dari unsur BPBD Kabupaten/Kota, sangat bersemangat. Semua serempak agar DPD-RI dalam menyempurnakan UU 24 tahun 2007, hendaknya lebih menambah peran BNPB/BPBD yang signifikan agar fungsi komando, koordinasi dan pelaksana penanggulangan bencana semakin efisien dan efektif.

Saran dan masukan yang diberikan, semua berdasarka pengalaman lapangan yang dilakukan selama ini. Mereka juga merasakan bahwa ada semacam rivalitas antara BNPB, Kemendagri, dan Kemensos dalam penanggulangan bencana. Kesan yang muncul, ada semacam saling berusaha datang lebih dulu ke lokasi bencana dengan membawa bantuan ala kadarnya, yang penting sampai lokasi dan berfoto selfi untuk laporan ke instansi. Inilah, yang menurut Panitia sebagai titik lemah dalam hal koordinasi yang dilakukan oleh BNPB/BPBD, sehingga UU 24 tahun 2007 ini perlu dirubah.

Ada lagi yang menggelitik. Dalam pasal 18, ayat 4, disebutkan Dinas atau badan pada tingkat provinsi dipimpin oleh seorang pejabat yang memiliki sertifikat kompetensi di bidang bencana. Begitu juga di tingkat kabupaten/kota. pertanyaannya, bagaimana jika si pejabatnya belum tersertifikasi, namun dia sangat mumpuni dalam hal manajerial maupun saat memimpin operasi di lapangan. Atau bagaimana jika si pejabat tersebut orang kepercayaan penguasa otoda?.

Begitu juga dengan susunan organisasi BNPB. Ada Kepala, Sestama, Deputi dan Irtama. Kemudian muncul Pusat dan UPT, lho itu jabatan apa, tupoksinya apa dan eselon berapa. Jawaban yang terlontar usai FGD dan tidak ada jawabannya.

Bang Yeka, dari unsur relawan yang tergabung dalam SRPB JATIM, mempertanyakan dimasukkannya PMI ke dalam susunan organisasi tim koordinasi penanggulangan bencana. Apa dasarnya?. Apa karena faktor Yusuf Kalla, sebagai wakil presiden dan sesepuh PMI, sehingga PMI dimunculkan?. Menurut Yeka, sebaiknya unsur PMI dikeluarkan dari susunan organisasi. Cukup dimasukkan dalam unsur masyarakat terlatih. Ini untuk menghindari politisasi relawan

Karena jika PMI dipaksakan muncul, sementara PRAMUKA, TAGANA, MDMC, LPBI-NU, dan Komunitas Relawan lain dengan berbagai benderanya itu tidak dimunculkan, maka PPUU DPD-RI telah melakukan ketidak adilan. Karena PMI itu juga relawan yang kedudukannya sama dengan PRAMUKA, TAGANA, MDMC, LPBI-NU, dan Komunitas Relawan lainnya dalam melakukan operasi penanggulangan bencana.

Kegiatan yang dibarengi dengan pemberian ‘seminar kit’ dan nasi kotak, juga bisa bikin galau jika perubahan UU kebencanaan ini ditumpangi unsur politis dalam pasal dan ayat yang diusulkan, atas nama penyempurnaan. Jika benar maka keberadaan relawan akan terkontaminasi politik, untuk kemudian terjadi segmentasi relawan sesuai afiliasi politiknya. Ini tidak benar karena kerja-kerja kemanusiaan itu harus nonproselitis, berkeadilan, kesamaan, kemitraan serta transparansi dan akuntabilitas.

Kata Rurid, Sekjen Forum PRB JATIM, dalam postingannya mengatakan bahwa Kepala daerah dijadikan koordinator tim penanggulangan bencana itu rawan dipolitisir, karena itu jabatan politis. Ini mengingat Kepala daerah dan wakilnya itu pembuat kebijakan, sedangkan birokrasi adalah pelaksana kebijakan. Ini akan menjadi rancu apabila pembuat kebijakan sebagai pelaksana kebijakan.

Bahkan bukan hanya nuansa politik saja, tapi bisa juga wacana kepentingan bermain di kebijakan anggaran terkait dengan Dana Siap Pakai (DSP). Karena, konon DSP itu rentan terhadap penyelewengan. Atas nama status darurat, maka proses audit pengadaan barang dan jasa tidak seketat ketika kondisi normal, Kata Yeka yang pernah ikut operasi bencana Sinabung.

Tepat pukul 12.10, acara FGD berakhir karena anggota DPD-RI harus segera menuju bandara Juanda, untuk terbang ke Jakarta. Sungguh kalau modelnya FGD seperti ini yang dibatasi waktu, jelas hasilnya tidak maksimal. Untuk itu  harus ada semacam lokakarya, duduk  bareng, fokus mencermati istilah dan substansi UU yang akan dirubah, untuk mensahihkan rancangan Undang-Undang Perubahan Undang-Undang nomor 24 tahun 2007. Sehingga akan berdaya guna dan berhasil guna. Pertanyaannya, apa masih ada anggarannya?. [eBas].




Tidak ada komentar:

Posting Komentar