[Edi Basuki]> …Kegiatan focus group discussion (FGD) dalam
rangka uji sahih Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Undang-Undang nomor
24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, berlangsung di ruang Rapat Utama
BPBD Provinsi Jawa Timur, kamis (8/6). Berlangsung dinamis, walau dalam suasana
puasa Ramadan.
Kegiatan yang digelar oleh Dewan
Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) ini merupakan masukan dari MPBI
untuk merubah Undang-Undang Kebencanaan agar sesuai dengan kebutuhan dan visi
isi pemerintah Jokowi. Termasuk menyesuaikan dengan perubahan paradigm kebencanaan
itu sendiri.
Menurut Panitia Perancang
Undang-Undang, masih ada beberapa problem yang harus segera diperbaiki. Seperti
problem konsep kebencanaan, problem radaksional di UU 24 tahun 2007 yang tidak
tegas, rancu, dan mendua sehingga bisa menimbulkan makna ganda. Serta problem
koordinasi penanggulangan bencana antar BPBD, SKPD, TNI dan POLRI, yang di beberapa
daerah masih lemah.
Yang menarik dari rencana perubahan
tersebut adalah dimasukkannya pasal tentang kewajiban pemerintah daerah
mengalokasikan dana penanggulangan bencana paling sedikit 1 (satu) persen dalam
APBN dan APBD, untuk kegiatan pra bencana, tanggap darurat dan pasca bencana. Di
pasal lain disebutkan, Pemerintah pun dapat menganggarkan dana alokasi khusus dari
APBN, untuk daerah berdasarkan tingkat risiko bencana.
Sementara Hendro, dari unsur pengarah
BPBD Jatim, mengharapkan agar istilah relawan bencana dan ahli bencana
dimasukkan dalam pasal tersendiri. Termasuk issue gender dalam rangka menumbuhkan
budaya sadar bencana bisa dipertimbangkan oleh Panitia Perancang Undang-Undang
DPD-RI, untuk disisipkan pada pasal tertentu yang relevan.
Saat dibuka acara Tanya jawab, animo
peserta FGD, terutama dari unsur BPBD Kabupaten/Kota, sangat bersemangat. Semua
serempak agar DPD-RI dalam menyempurnakan UU 24 tahun 2007, hendaknya lebih
menambah peran BNPB/BPBD yang signifikan agar fungsi komando, koordinasi dan
pelaksana penanggulangan bencana semakin efisien dan efektif.
Saran dan masukan yang diberikan,
semua berdasarka pengalaman lapangan yang dilakukan selama ini. Mereka juga
merasakan bahwa ada semacam rivalitas antara BNPB, Kemendagri, dan Kemensos
dalam penanggulangan bencana. Kesan yang muncul, ada semacam saling berusaha
datang lebih dulu ke lokasi bencana dengan membawa bantuan ala kadarnya, yang
penting sampai lokasi dan berfoto selfi untuk laporan ke instansi. Inilah, yang
menurut Panitia sebagai titik lemah dalam hal koordinasi yang dilakukan oleh
BNPB/BPBD, sehingga UU 24 tahun 2007 ini perlu dirubah.
Ada lagi yang menggelitik. Dalam pasal
18, ayat 4, disebutkan Dinas atau badan pada tingkat provinsi dipimpin oleh
seorang pejabat yang memiliki sertifikat kompetensi di bidang bencana. Begitu juga
di tingkat kabupaten/kota. pertanyaannya, bagaimana jika si pejabatnya belum
tersertifikasi, namun dia sangat mumpuni dalam hal manajerial maupun saat
memimpin operasi di lapangan. Atau bagaimana jika si pejabat tersebut orang
kepercayaan penguasa otoda?.
Begitu juga dengan susunan organisasi
BNPB. Ada Kepala, Sestama, Deputi dan Irtama. Kemudian muncul Pusat dan UPT,
lho itu jabatan apa, tupoksinya apa dan eselon berapa. Jawaban yang terlontar
usai FGD dan tidak ada jawabannya.
Bang Yeka, dari unsur relawan yang
tergabung dalam SRPB JATIM, mempertanyakan dimasukkannya PMI ke dalam susunan
organisasi tim koordinasi penanggulangan bencana. Apa dasarnya?. Apa karena faktor
Yusuf Kalla, sebagai wakil presiden dan sesepuh PMI, sehingga PMI dimunculkan?.
Menurut Yeka, sebaiknya unsur PMI dikeluarkan dari susunan organisasi. Cukup dimasukkan
dalam unsur masyarakat terlatih. Ini untuk menghindari politisasi relawan
Karena jika PMI dipaksakan muncul,
sementara PRAMUKA, TAGANA, MDMC, LPBI-NU, dan Komunitas Relawan lain dengan
berbagai benderanya itu tidak dimunculkan, maka PPUU DPD-RI telah melakukan
ketidak adilan. Karena PMI itu juga relawan yang kedudukannya sama dengan
PRAMUKA, TAGANA, MDMC, LPBI-NU, dan Komunitas Relawan lainnya dalam melakukan
operasi penanggulangan bencana.
Kegiatan yang dibarengi dengan pemberian
‘seminar kit’ dan nasi kotak, juga
bisa bikin galau jika perubahan UU kebencanaan ini ditumpangi unsur politis
dalam pasal dan ayat yang diusulkan, atas nama penyempurnaan. Jika benar maka
keberadaan relawan akan terkontaminasi politik, untuk kemudian terjadi
segmentasi relawan sesuai afiliasi politiknya. Ini tidak benar karena
kerja-kerja kemanusiaan itu harus nonproselitis, berkeadilan, kesamaan, kemitraan
serta transparansi dan akuntabilitas.
Kata Rurid, Sekjen Forum PRB JATIM, dalam
postingannya mengatakan bahwa Kepala daerah dijadikan koordinator tim
penanggulangan bencana itu rawan dipolitisir, karena itu jabatan politis. Ini mengingat
Kepala daerah dan wakilnya itu pembuat kebijakan, sedangkan birokrasi adalah
pelaksana kebijakan. Ini akan menjadi rancu apabila pembuat kebijakan sebagai
pelaksana kebijakan.
Bahkan bukan hanya nuansa politik
saja, tapi bisa juga wacana kepentingan bermain di kebijakan anggaran terkait
dengan Dana Siap Pakai (DSP). Karena, konon DSP itu rentan terhadap penyelewengan.
Atas nama status darurat, maka proses audit pengadaan barang dan jasa tidak
seketat ketika kondisi normal, Kata Yeka yang pernah ikut operasi bencana
Sinabung.
Tepat pukul 12.10, acara FGD berakhir
karena anggota DPD-RI harus segera menuju bandara Juanda, untuk terbang ke
Jakarta. Sungguh kalau modelnya FGD seperti ini yang dibatasi waktu, jelas
hasilnya tidak maksimal. Untuk itu harus
ada semacam lokakarya, duduk bareng, fokus
mencermati istilah dan substansi UU yang akan dirubah, untuk mensahihkan
rancangan Undang-Undang Perubahan Undang-Undang nomor 24 tahun 2007. Sehingga akan
berdaya guna dan berhasil guna. Pertanyaannya, apa masih ada anggarannya?. [eBas].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar