Senin, 25 September 2017

ARISAN ILMU NOL RUPIAH DI UNISMA

Kali ini kegiatan Arisan Ilmu Nol Rupiah SRPB JATIM diselenggarakan di Kampus Unisma, Kota Malang. Semua ini bisa terwujud atas budi baik kawan-kawan kamapala R.P.A Unisma yang dimotori oleh Yeka Kusuma. Terkait dengan tempat arisan, bisa diselenggarakan dimana saja sesuai kesepakatan. Jadi, tidak harus diselenggarakan di Joko, Juanda, Sidoarjo.

Pesertanya dari berbagai organisasi yang bergiat pada bidang lingkungan dan kemanusiaan. Mereka datang dari berbagai daerah di Jawa timur. Tujuannya satu, mencari ilmu menambah wawasan, sekaligus membangun paseduluran dan menigkatkan kapasitas di bidang penanggulangan bencana.

Dengan kata lain, kegiatan Arisan Ilmu Nol Rupiah itu ingin membongkar mitos bahwa mengajak kumpul relawan untuk saling berbagi ilmu itu berbiaya majal. Nyatanya, dengan kesadaran dan komitmen keswadayaan serta rasa kebersamaan yang tinggi, terbukti semuanya bisa terjadi, termasuk pesertanya membawa konsumsi sendiri-sendiri.

Kali ini materinya bicara tentang Emergency Communication Management Training dan HF/NVIS sebagai Back up pada Komunikasi Darurat di Wilayah Bencana. Materi yang menarik ini disampaikan oleh Bambang Sutrisno. Biasa dipanggil Pakdhe Bam, seorang amateur radio senior dari Bogor dengan kode panggilan udara YB.1.K.O.

Saat mengenalkan diri, Pakdhe juga bercerita tentang sejarah perkembangan ORARI dengan menggunakan kode tertentu untuk masing-masing daerah maupun Negara. Serta perlunya memiliki legalitas berupa call sign untuk bermain di frekwensi tertentu dan menaati peraturan yang berlaku.

Dalam dunia amateur radio, baik itu ORARI maupun RAPI, ada semacam pameo yang mengatakan bahwa The unique hobby amateur radio is a mix of fun, public service and self enjoyment. Konon, kepuasan seorang amateur radio itu bila dengan kreativitasnya berhasil memodifikasi alat komunikasi yang rusak bisa digunakan kembali agar semakin fungsional untuk digunakan di segala medan. Termasuk memodifikasi antena yang memiliki daya pancar luas dan  praktis, mudah dibawa kemana-mana.  

Beberapa peserta berharap materi ini berkesinambungan, karena tidak mungkin langsung mengerti dalam pelatihan ini saja. Apalagi banyak yang masih awam, hanya bisa menggunakan tanpa mengerti aturan dan tidak memiliki call sign resmi. Mereka ini biasa disebuat dengan ‘orong-orong’, karena sering mengganggu frekwensi saat keadaan darurat.

Dalam penjelasannya, beliau berpesan kepada relawan yang akan terjun ke lokasi bencana harus siap dengan perbekalan pribadi dan perlengkapan pendukungnya. Jangan sampai merepotkan, apalagi menjadi beban di lokasi. Idealnya, perbekalan yang dibawa itu diantaranya P3K, alat komunikasi beserta perlengkapannya, konsumsi dan pakaian secukupnya, vitamin, minyak angin, anti biotik, sempritan, senter, pisau lipat, korek, jaket dan ponco warna cerah.

“Relawan juga harus tahu dengan siapa saja akan bekerjasama, frekwensi berapa yang digunakan untuk berkomunikasi, dan jangan memakai sandal japit saat melakukan operasi di lokasi bencana. Itu sepele namun berbahaya.” Kata Pakdhe Bam penuh semangat dalam menyampaikan materinya.

Dikatakan pula bahwa dalam mendistribusikan berita, misalnya terkait dengan permintaan bantuan lewat radio, harus benar-benar valid dan jelas sehingga bisa segera ditindak lanjuti oleh pemegang kekuasaan dan bantuan yang akan diberikan benar-benar sesuai dengan kebutuhan. Untuk itulah jalur frekwensi yang digunakan untuk operasi harus bersih dari ‘orong-orong’.

Untuk itulah, relawan yang berbekal Handy Talky hendaknya selalu bekerjasama dengan RAPi ataupun ORARI dalam memberikan dukungan komunikasi sebar informasi di lokasi, sehingga dapat mengurangi dampak bencana yang ditimbulkan dan masyarakat juga terlayani kebutuhannya. TNX ES CUAGN. [eBas].








Tidak ada komentar:

Posting Komentar