Kali ini
kegiatan Arisan Ilmu Nol Rupiah SRPB JATIM diselenggarakan di Kampus Unisma,
Kota Malang. Semua ini bisa terwujud atas budi baik kawan-kawan kamapala R.P.A
Unisma yang dimotori oleh Yeka Kusuma. Terkait dengan tempat arisan, bisa
diselenggarakan dimana saja sesuai kesepakatan. Jadi, tidak harus
diselenggarakan di Joko, Juanda, Sidoarjo.
Pesertanya
dari berbagai organisasi yang bergiat pada bidang lingkungan dan kemanusiaan. Mereka
datang dari berbagai daerah di Jawa timur. Tujuannya satu, mencari ilmu
menambah wawasan, sekaligus membangun paseduluran dan menigkatkan kapasitas di
bidang penanggulangan bencana.
Dengan kata
lain, kegiatan Arisan Ilmu Nol Rupiah itu ingin membongkar mitos bahwa mengajak
kumpul relawan untuk saling berbagi ilmu itu berbiaya majal. Nyatanya, dengan
kesadaran dan komitmen keswadayaan serta rasa kebersamaan yang tinggi, terbukti
semuanya bisa terjadi, termasuk pesertanya membawa konsumsi sendiri-sendiri.
Kali ini
materinya bicara tentang Emergency
Communication Management Training dan HF/NVIS sebagai Back up pada
Komunikasi Darurat di Wilayah Bencana. Materi yang menarik ini disampaikan oleh
Bambang Sutrisno. Biasa dipanggil Pakdhe Bam, seorang amateur radio senior dari
Bogor dengan kode panggilan udara YB.1.K.O.
Saat mengenalkan
diri, Pakdhe juga bercerita tentang sejarah perkembangan ORARI dengan
menggunakan kode tertentu untuk masing-masing daerah maupun Negara. Serta perlunya
memiliki legalitas berupa call sign untuk
bermain di frekwensi tertentu dan menaati peraturan yang berlaku.
Dalam dunia
amateur radio, baik itu ORARI maupun RAPI, ada semacam pameo yang mengatakan
bahwa The unique hobby amateur radio is a
mix of fun, public service and self enjoyment. Konon, kepuasan seorang
amateur radio itu bila dengan kreativitasnya berhasil memodifikasi alat
komunikasi yang rusak bisa digunakan kembali agar semakin fungsional untuk
digunakan di segala medan. Termasuk memodifikasi antena yang memiliki daya pancar
luas dan praktis, mudah dibawa
kemana-mana.
Beberapa peserta
berharap materi ini berkesinambungan, karena tidak mungkin langsung mengerti
dalam pelatihan ini saja. Apalagi banyak yang masih awam, hanya bisa
menggunakan tanpa mengerti aturan dan tidak memiliki call sign resmi. Mereka ini biasa disebuat dengan ‘orong-orong’, karena sering mengganggu
frekwensi saat keadaan darurat.
Dalam penjelasannya,
beliau berpesan kepada relawan yang akan terjun ke lokasi bencana harus siap
dengan perbekalan pribadi dan perlengkapan pendukungnya. Jangan sampai
merepotkan, apalagi menjadi beban di lokasi. Idealnya, perbekalan yang dibawa
itu diantaranya P3K, alat komunikasi beserta perlengkapannya, konsumsi dan
pakaian secukupnya, vitamin, minyak angin, anti biotik, sempritan, senter,
pisau lipat, korek, jaket dan ponco warna cerah.
“Relawan
juga harus tahu dengan siapa saja akan bekerjasama, frekwensi berapa yang
digunakan untuk berkomunikasi, dan jangan memakai sandal japit saat melakukan
operasi di lokasi bencana. Itu sepele namun berbahaya.” Kata Pakdhe Bam penuh
semangat dalam menyampaikan materinya.
Dikatakan
pula bahwa dalam mendistribusikan berita, misalnya terkait dengan permintaan
bantuan lewat radio, harus benar-benar valid dan jelas sehingga bisa segera
ditindak lanjuti oleh pemegang kekuasaan dan bantuan yang akan diberikan
benar-benar sesuai dengan kebutuhan. Untuk itulah jalur frekwensi yang
digunakan untuk operasi harus bersih dari ‘orong-orong’.
Untuk itulah,
relawan yang berbekal Handy Talky
hendaknya selalu bekerjasama dengan RAPi ataupun ORARI dalam memberikan
dukungan komunikasi sebar informasi di lokasi, sehingga dapat mengurangi dampak
bencana yang ditimbulkan dan masyarakat juga terlayani kebutuhannya. TNX ES
CUAGN. [eBas].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar