Konon, yang namanya perlombaan,
pasti ada yang kalah dan ada yang menang. Beberapa indikator yang telah
ditentukan juri harus dimiliki oleh pemenang, misalnya indikator tentang
partisipasi masyarakat terhadap kegiatan yang dilombakan. Perlombaan diadakan
terkandung maksud untuk melihat hasil pembinaan yang telah dilakukan selama
beberapa waktu. Disamping itu juga merupakan ajang untuk memamerkan kebisaan, dan
unjuk keterampilan yang membanggakan dari para peserta lomba.
Di dalam perlombaan pun sering
terdengar adanya kecurangan, sebagai upaya menjadi juara. Demi gengsi daerah
berbagai cara dilakukan agar bisa tampil sebagai pemenang. Bahkan konon, ada
pihak-pihak tertentu yang menjadikan perlombaan sebagai ajang perjudian.
Celakanya, ketika sebuah
perlombaan dimaknai sekedar sebagai gengsi daerah untuk membangun citra bahwa
pejabat daerah peduli perlombaan, maka ujung-ujungnya adalah akan dimanfaatkan
untuk mendongkrak elektabilitas sebagai modal memenangi pilkada.
Maka, atas nama kuasa jabatan,
semua potensi dilibatkan, baik secara terang-terangan maupun bermain dibalik
layar. Termasuk buat laporan administrasi dadakan yang direkayasa, serta upaya mempengaruhi
tim juri dengan lobi tingkat tinggi untuk memenangkan perlombaan. Anggaran pun
digelontorkan untuk mendukung lomba tanpa batas, entah dari mana. Biasanya
dikamuflasekan dengan istilah dana partisipasi.
Gambaran di atas mengingatkan
penulis tentang cerita di jaman orde baru.
Dulu, pernah ada lomba kelompencapir. Menurut Wikipedia, Kelompencapir itu singkatan dari Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pemirsa, yaitu sebuah kegiatan pertemuan
(untuk pembinan dan penyuluhan) bagi petani dan nelayan di Indonesia (lebih tepatnya masyarakat pedesaan).
Pada masa itu kelompencapir menjadi media penghubung
antara pemerintah dengan rakyatnya, juga media mengkomunikasikan program
pemerintah yang bernama rencana pembangunan lima tahun. Program ini ikut andil
kala Indonesia mencapai swasembada pangan dan mendapatkan penghargaan
dari FAO pada tahun 1984.
Kegiatan ini mengikutkan petani-petani berprestasi dari
berbagai daerah. Mereka diadu kepintaran dan pengetahuannya seputar pertanian antara
lain soal cara bertanam yang baik dan pengetahuan tentang pupuk. Disamping itu
juga pengetahuan tentang perikanan, peternakan, perkebunan dan masalah sosial
kemasyarakatan yang terjadi di lingkungannya, dengan model mirip cerdas cermat.
Karena lomba kelompencapir itu didukung banyak pihak,
maka hadiahnya pun beraneka macam, baik berupa barang, dan uang, juga piala dan
piagam. Ketika itu, biasanya setelah menang, daerah akan mendapat gelontoran
dana untuk berbagai proyek. Pertanyaannya kemudian, apakah rekayasa pemenang lomba sampai saat ini masih ada?.
Kini, BNPB yang membidangi masalah bencana di
Indonesia, juga memiliki program lomba desa tangguh bencana dalam rangka mewujudkan
ketangguhan bangsa menghadapi bencana. Dalam
salah satu peraturan kepala BNPB, dikatakan bahwa Desa/Kelurahan Tangguh
Bencana adalah desa/kelurahan yang memiliki kemampuan mandiri untuk beradaptasi
dan menghadapi potensi ancaman bencana, serta memulihkan diri dengan segera
dari dampak bencana yang merugikan.
Ini penting, karena Jika terjadi bencana,
masyarakat miskin yang tinggal di kawasan rawan akan menjadi pihak yang paling
dirugikan, karena jumlah korban terbesar biasanya berasal dari kelompok ini. Untuk
itulah mereka perlu diberi ‘perlakuan
tentang PRBBK’ yang didampingi oleh fasilitator desa pilihan BNPB, agar masyarakat
lebih berdaya dalam menghadapi bencana.
Kemudian, untuk melihat keberhasilan program,
diadakanlah lomba desa tangguh. Tentu masing-masing BPBD menjagokan beberapa
daerahnya untuk ikut lomba sesuai dengan kategorinya. Semua peserta akan
berupaya semaksimal mungkin menyiapkan ‘ubo
rampe’ yang dipersyaratkan agar tampilannya tidak mengecewakan BPBD
pengusung dan tim juri.
Nah disinilah, jika memakai kebiasaan jaman
kelompencapir, potensi ‘akal-akalan’
mulai terjadi. Apalagi jika dikaitkan dengan gengsi daerah dan kepentingan
tertentu. Maka pejabat setingkat kepala desa sampai ke atas yang semula kurang
peduli terhadap Destana, akan berlomba-lomba tampil cari muka dengan segala
gayanya agar menjadi sang juara.
Namun penulis yakin, lomba destana bersih
dari ‘lelaku culas’ warisan orde
baru. Ya, Destana bukan Kelompencapir. Karena ini program penumbuhan kesadaran
akan pentingnya kesiapsiagaan menghadapi bencana, khususnya bagi masyarakat
yang berdiam di daerah rawan bencana sesuai konsep Living Harmony with disaster.
Apalagi, sekarang ini jaman KPK sedang rajin
menjalankan program OTT di berbagai daerah dengan berbagai kasus yang dinilai
merugikan keuangan Negara, tentunya BNPB dan BPBD tidak mau konyol dijadikan
pesakitan seperti bupati dan wali kota yang tertangkap basah oleh KPK. Wallahu a’lam
bishowab. Salam tangguh, salam kemanusiaan. [eBas]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar