Selasa, 19 September 2017

LOMBA DESTANA BUKAN LOMBA KELOMPENCAPIR

Konon, yang namanya perlombaan, pasti ada yang kalah dan ada yang menang. Beberapa indikator yang telah ditentukan juri harus dimiliki oleh pemenang, misalnya indikator tentang partisipasi masyarakat terhadap kegiatan yang dilombakan. Perlombaan diadakan terkandung maksud untuk melihat hasil pembinaan yang telah dilakukan selama beberapa waktu. Disamping itu juga merupakan ajang untuk memamerkan kebisaan, dan unjuk keterampilan yang membanggakan dari para peserta lomba.
Di dalam perlombaan pun sering terdengar adanya kecurangan, sebagai upaya menjadi juara. Demi gengsi daerah berbagai cara dilakukan agar bisa tampil sebagai pemenang. Bahkan konon, ada pihak-pihak tertentu yang menjadikan perlombaan sebagai ajang perjudian.
Celakanya, ketika sebuah perlombaan dimaknai sekedar sebagai gengsi daerah untuk membangun citra bahwa pejabat daerah peduli perlombaan, maka ujung-ujungnya adalah akan dimanfaatkan untuk mendongkrak elektabilitas sebagai modal memenangi pilkada.
Maka, atas nama kuasa jabatan, semua potensi dilibatkan, baik secara terang-terangan maupun bermain dibalik layar. Termasuk buat laporan administrasi dadakan yang direkayasa, serta upaya mempengaruhi tim juri dengan lobi tingkat tinggi untuk memenangkan perlombaan. Anggaran pun digelontorkan untuk mendukung lomba tanpa batas, entah dari mana. Biasanya dikamuflasekan dengan istilah dana partisipasi.
Gambaran di atas mengingatkan penulis tentang cerita di jaman orde baru.  Dulu, pernah ada lomba kelompencapir. Menurut Wikipedia, Kelompencapir itu singkatan dari Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pemirsa, yaitu sebuah kegiatan pertemuan (untuk pembinan dan penyuluhan) bagi petani dan nelayan di Indonesia (lebih tepatnya masyarakat pedesaan).
Pada masa itu kelompencapir menjadi media penghubung antara pemerintah dengan rakyatnya, juga media mengkomunikasikan program pemerintah yang bernama rencana pembangunan lima tahun. Program ini ikut andil kala Indonesia mencapai swasembada pangan dan mendapatkan penghargaan dari FAO pada tahun 1984.
Kegiatan ini mengikutkan petani-petani berprestasi dari berbagai daerah. Mereka diadu kepintaran dan pengetahuannya seputar pertanian antara lain soal cara bertanam yang baik dan pengetahuan tentang pupuk. Disamping itu juga pengetahuan tentang perikanan, peternakan, perkebunan dan masalah sosial kemasyarakatan yang terjadi di lingkungannya,  dengan model mirip cerdas cermat.
Karena lomba kelompencapir itu didukung banyak pihak, maka hadiahnya pun beraneka macam, baik berupa barang, dan uang, juga piala dan piagam. Ketika itu, biasanya setelah menang, daerah akan mendapat gelontoran dana untuk berbagai proyek. Pertanyaannya kemudian, apakah rekayasa pemenang lomba sampai saat ini masih ada?.
Kini, BNPB yang membidangi masalah bencana di Indonesia, juga memiliki program lomba desa tangguh bencana dalam rangka mewujudkan ketangguhan bangsa menghadapi bencana.  Dalam salah satu peraturan kepala BNPB, dikatakan bahwa Desa/Kelurahan Tangguh Bencana adalah desa/kelurahan yang memiliki kemampuan mandiri untuk beradaptasi dan menghadapi potensi ancaman bencana, serta memulihkan diri dengan segera dari dampak bencana yang merugikan.
Ini penting, karena Jika terjadi bencana, masyarakat miskin yang tinggal di kawasan rawan akan menjadi pihak yang paling dirugikan, karena jumlah korban terbesar biasanya berasal dari kelompok ini. Untuk itulah mereka perlu diberi ‘perlakuan tentang PRBBK’ yang didampingi oleh fasilitator desa pilihan BNPB, agar masyarakat lebih berdaya dalam menghadapi bencana.
Kemudian, untuk melihat keberhasilan program, diadakanlah lomba desa tangguh. Tentu masing-masing BPBD menjagokan beberapa daerahnya untuk ikut lomba sesuai dengan kategorinya. Semua peserta akan berupaya semaksimal mungkin menyiapkan ‘ubo rampe’ yang dipersyaratkan agar tampilannya tidak mengecewakan BPBD pengusung dan tim juri.
Nah disinilah, jika memakai kebiasaan jaman kelompencapir, potensi ‘akal-akalan’ mulai terjadi. Apalagi jika dikaitkan dengan gengsi daerah dan kepentingan tertentu. Maka pejabat setingkat kepala desa sampai ke atas yang semula kurang peduli terhadap Destana, akan berlomba-lomba tampil cari muka dengan segala gayanya agar menjadi sang juara.
Namun penulis yakin, lomba destana bersih dari ‘lelaku culas’ warisan orde baru. Ya, Destana bukan Kelompencapir. Karena ini program penumbuhan kesadaran akan pentingnya kesiapsiagaan menghadapi bencana, khususnya bagi masyarakat yang berdiam di daerah rawan bencana sesuai konsep Living Harmony with disaster.
  Apalagi, sekarang ini jaman KPK sedang rajin menjalankan program OTT di berbagai daerah dengan berbagai kasus yang dinilai merugikan keuangan Negara, tentunya BNPB dan BPBD tidak mau konyol dijadikan pesakitan seperti bupati dan wali kota yang tertangkap basah oleh KPK. Wallahu a’lam bishowab. Salam tangguh, salam kemanusiaan. [eBas]  
                                                 





Tidak ada komentar:

Posting Komentar