Minggu, 17 September 2017

NGOBROL DI KAMPUNG TIONGHOA TAMBAK BAYAN

Edibasuki>>
Malam itu sabtu (16/9), suasana di Kampung Tionghoa, Kecamatan Alun-alun Contong, Kota Surabaya cerah. Walau tanpa sinar rembulan, kerlip bintang sudah ikut menyemarakkan gelaran hajatan warga kampung. Ya, malam itu berbagai jajanan dijual beberapa warga dengan harga miring guna meramaikan acara yang digelar oleh mereka yang tergabung dalam Waroeng Jula Juli Bhineka (Jujubi) Surabaya.

Bertempat di halaman kampung yang dikepung bangunan tua khas budaya cina itu, acara ngobrol bareng tentang pentingnya Budaya Lokal dan Perbedaan Agama Sebagai Identitas Bangsa. Konon acara ini didukung oleh banyak pihak yang peduli terhadap kehidupan warga Surabaya yang aman dan damai.

Malam itu para pemerhati masalah sosial budaya Kota Surabaya, beserta warga jalan Tambak Bayang membaur, ngobrol bareng tanpa membedakan suku, agama, ras, dan status sosial. Kopi dan kudapan ala kadarnya turut mengakrabkan suasana, gratis dibagi.

Lewat obrolan itu, mereka bersama mencoba membangun kesepahaman akan pentingnya menanamkan rasa nasionalisme kepada generasi muda. Para tokoh masyarakat itu bergantian meyakinkan bahwa pentingnya hidup rukun dalam keberagaman.

Bahkan ada yang mengatakan bahwa Indonesia ini dibangun oleh keberagaman budaya, agama, suku, dan latar belakang sosial ekonomi. Semuanya bergandengan tangan mengesampingkan perbedaan, bersama berjuang demi kemerdekaan.

Mereka juga bicara tentang pentingnya menjaga keutuhan NKRI secara bersama-sama dengan mengedepankan budaya lokal yang telah diwariskan oleh para pendahulu republik yang kini tinggal kenangan dan cerita yang sempat didokumentasikan untuk diteladani.

Kampung tionghoa dipilih agar warga Surabaya mengetahui bahwa di daerahnya banyak bangunan tua yang perlu dilestarikan karena banyak menyimpan cerita di dalamnya. Disamping itu juga paham bahwa etnis cina sudah sejak jaman dulu ada di Surabaya dengan membentuk kawasan ‘pecinan’ dibeberapa sudut kota, salah satunya di kawasan tambak bayan, jagalan, peneleh dan plampitan, kental dengan ragam arsitektur cina, seperti bentuk bangunan rumah juga klenteng untuk ritual agama konghucu.

Forum-forum informal untuk ngobrol bareng semacam inilah yang kiranya perlu sering diadakan sebagai media membangun kesepahaman agar antar golongan yang ada di Surabaya ini tidak mudah dibenturkan oleh issue-isue politik transaksional, juga isue agama yang saat ini sedang marak berhembus dan dihembuskan sebagai komoditas yang bisa menggerogoti rasa persatuan dan kesatuan bangsa. [eBas]  

    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar