Edibasuki>>
Malam
itu sabtu (16/9), suasana di Kampung Tionghoa, Kecamatan Alun-alun Contong,
Kota Surabaya cerah. Walau tanpa sinar rembulan, kerlip bintang sudah ikut
menyemarakkan gelaran hajatan warga kampung. Ya, malam itu berbagai jajanan dijual beberapa warga dengan harga miring guna meramaikan acara yang digelar oleh mereka yang tergabung
dalam Waroeng Jula Juli Bhineka (Jujubi) Surabaya.
Bertempat di halaman kampung yang
dikepung bangunan tua khas budaya cina itu, acara ngobrol bareng tentang
pentingnya Budaya Lokal dan Perbedaan Agama Sebagai Identitas Bangsa. Konon acara
ini didukung oleh banyak pihak yang peduli terhadap kehidupan warga Surabaya
yang aman dan damai.
Malam itu para pemerhati masalah sosial
budaya Kota Surabaya, beserta warga jalan Tambak Bayang membaur, ngobrol bareng
tanpa membedakan suku, agama, ras, dan status sosial. Kopi dan kudapan ala
kadarnya turut mengakrabkan suasana, gratis dibagi.
Lewat obrolan itu, mereka bersama
mencoba membangun kesepahaman akan pentingnya menanamkan rasa nasionalisme
kepada generasi muda. Para tokoh masyarakat itu bergantian meyakinkan bahwa
pentingnya hidup rukun dalam keberagaman.
Bahkan ada yang mengatakan bahwa
Indonesia ini dibangun oleh keberagaman budaya, agama, suku, dan latar belakang
sosial ekonomi. Semuanya bergandengan tangan mengesampingkan perbedaan, bersama
berjuang demi kemerdekaan.
Mereka juga bicara tentang
pentingnya menjaga keutuhan NKRI secara bersama-sama dengan mengedepankan
budaya lokal yang telah diwariskan oleh para pendahulu republik yang kini
tinggal kenangan dan cerita yang sempat didokumentasikan untuk diteladani.
Kampung tionghoa dipilih agar
warga Surabaya mengetahui bahwa di daerahnya banyak bangunan tua yang perlu
dilestarikan karena banyak menyimpan cerita di dalamnya. Disamping itu juga paham
bahwa etnis cina sudah sejak jaman dulu ada di Surabaya dengan membentuk
kawasan ‘pecinan’ dibeberapa sudut kota, salah satunya di kawasan tambak bayan,
jagalan, peneleh dan plampitan, kental dengan ragam arsitektur cina, seperti
bentuk bangunan rumah juga klenteng untuk ritual agama konghucu.
Forum-forum informal untuk ngobrol bareng
semacam inilah yang kiranya perlu sering diadakan sebagai media membangun
kesepahaman agar antar golongan yang ada di Surabaya ini tidak mudah
dibenturkan oleh issue-isue politik transaksional, juga isue agama yang saat ini sedang marak berhembus dan dihembuskan sebagai komoditas yang bisa menggerogoti rasa persatuan dan kesatuan bangsa. [eBas]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar