Senin, 06 November 2017

GERAKAN LITERASI ERATKAN SILATURAHMI

Sungguh menggembirakan sekali. Kini dimana-mana diberbagai daerah sedang marak diadakan gerakan pengurangan risiko bencana yang digaungkan oleh BNPB/BPBD dengan berbagai model pendekatan. Ada Desa Tangguh Bencana, ada Sekolah Sungai, Sekolah Laut, dan Sekolah Gunung. Konon, masing-masing mempunyai karakteristik sendiri.

Upaya pelibatan seluruh komponen bangsa dalam kampanye gerakan ini diterjemahkan dalam tindakan kolektif dalam bentuk kegiatan tradisional yang ada di masyarakat, seperti kerjasama dan gotong-royong. Gerakan ini jika dikondisikan terus akan menjadi sebuah kesadaran kolektif sebagai upaya pengurangan risiko bencana di Indonesia.

Gerakan ini lekat dengan gerakan literasi, karena di dalamnya mengandung pesan tertulis yang harus dikomunikasikan agar bisa dipahami. Literasi merupakan kemampuan melek aksara yang di dalamnya meliputi kemampuan membaca dan menulis. Tujuannya agar peserta memiliki budaya membaca dan menulis untuk memahami pesan-pesan pengurangan risiko bencana.

Menurut National Institute for Literacy, Literasi sebagai "Kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat." Namun lebih dari itu, Literasi adalah kemampuan individu untuk menggunakan segenap potensi dan skill yang dimiliki dalam hidupnya

Melalui kecakapan literasi, maka pesan-pesan BNPB/BPBD terkait dengan masalah kebencanaan akan mudah dimengerti sehingga dapat meningkatkan upaya pengurangan risiko bencana dalam rangka menurunkan indeks risiko bencana.

Kecakapan literasi pun bisa disemaikan melalui kegiatan ngobrol bareng, cangkruk’an bersama untuk saling tukar informasi dan berbagi pengalaman tentang apa saja, khususnya yang berkaitan dengan kegiatan kerelawanan yang bermanfaat kepada sesama, juga kepada upaya pelestarian lingkungan. Baik yang terjadwal maupun yang insidental. Ya, ngobrol bareng sambil ngopi biasanya lebih mengena, karena disitu tidak ada jarak dan perbedaan yang mencolok.

Sungguh, obrolan yang “pating pecothot” tanpa format tertentu itu sangat indah jika ditulis menjadi sebuah buku sederhana yang kaya akan pengalaman yang indah untuk dikenang menjadi sebuah pembelajaran bagi sesama pekerja kemanusiaan.

Kemampuan literasi yang dikaitkan dengan pengurangan risiko bencana, dapat memberdayakan dan meningkatkan kualitas individu, karena dapat memutus mata rantai kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan. Ya, acara ngobrol bareng secara nonformal itu jika rutin dilakukan bisa menjadi wadah saling belajar sesuai konsep sepanjang hayat

Artinya, melalui gerakan literasi dalam bentuk obrolan ngalur ngidul tak terformat ini, tanpa disadari bisa meningkatkan kesadaran akan pentingnya semangat kebersamaan, kesetiakawanan sosial, gotong-royong yang baik sehingga menjadi nilai budaya di masyarakat dalam pengelolaan risiko bencana menuju Indonesia tangguh menghadapi bencana.[eBas]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar