Pendidikan dan
pelatihan untuk relawan penanggulangan bencana, dalam bentuk apapun merupakan
upaya meningkatkan kapasitas relawan dengan harapan mampu secara professional melaksanakan
tugas-tugas kemanusiaan menolong sesama yang tertimpa bencana.
Masing-masing
komunitas punya cara dan gaya dalam upaya peningkatan kapasitas relawan.
Misalnya obrolan santai Arisan Ilmu Nol Rupiah, yang digagas oleh SRPB Jatim
sebagai upaya menambah wawasan dan mempererat paseduluran antar relawan. Begitu
juga dengan komunitas yang lain dengan nama yang lain pula, tapi substansinya
sama, meningkatkan pengetahuan, dan memperluas wawasan.
Bahkan ada
komunitas tertentu, dalam melakukan pembelajarannya, melibatkan langsung masyarakat
yang berada di kawasan rawan bencana. Apalagi, saat ini ada dana desa yang bisa
dimanfaatkan untuk kegiatan yang terkait dengan penanggulangan bencana.
Ini merupakan
bentuk kongkrit upaya membangun kesiapsiagaan, yaitu serangkaian kegiatan yang
dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui
langkah yang tepat guna dan berdaya guna.
Tanda bahwa
masyarakat itu telah memiliki kesiapsiagaan yang baik adalah, (1) Mampu
mengenali ancaman dan memprediksi sebelum terjadinya bencana; (2) Mampu
mencegah bencana, jika mungkin; (3) Jika tidak, mampu mengurangi dampaknya; (4)
Jika terjadi bencana, mampu menanggulangi secara efektif; dan (5) Setelah
bencana terjadi, mampu pulih kembali dengan cepat.
Disamping melakukan
peningkatan kapasitas relawan secara terus menerus, sudah waktunya relawan juga
memahami tentang aspek inklusi dalam aksi-aksi kemanusiaan. Artinya, aksi
kemanusiaan yang dilakukan relawan itu harus dapat memberikan manfaat bagi
semua orang yang terkena bencana, termasuk penyandang disabilitas.
Bahkan merekalah
kelompok berisiko tinggi yang akan
mengalami dampak yang lebih besar karena hambatan lingkungan. Ini terjadi
akibat dilupakannya (terlupakan) keberadaan penyandang disabilitas dalam
penanggulangan bencana.
Dalam brosur
pengurangan risiko bencana inklusif yang dikeluarkan USAID, mengatakan bahwa
penyandang disabilitas termasuk kelompok berisiko tinggi terhadap bencana.
Hambatan lingkungan yang dihadapi penyandang disabilitas saat tanggap bencana, dapat berupa fisik, seperti
akses bangunan, ketersediaan toilet, serta alat informasi yang kurang
aksesibel. Dapat pula secara non fisik, seperti
masih adanya stigma negatif ketidakberdayaan, sehingga tidak dilibatkan,
serta sistem komunikasi yang tidak asesibel.
Untuk itulah, masih
kata pesan dalam brosur itu, semua pegiat kerja-kerja kemanusiaan sudah
waktunya melakukan aksi kemanusiaan inklusif. Seperti, melibatkan kelompok
berisiko tinggi dalam semua fase aksi kemanusiaan, dari kajian awal hingga
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Melakukan kegiatan pemilahan data
berdasarkan gender, usia dan disabilitas.
Dalam Kerangka Aksi
Hyogo 2005 – 2015, juga disebutkan bahwa dalam situasi bencana semua orang
menjadi rentan, terutama para lansia, penyandang disabilitas, dan ibu-ibu yang
tengah hamil atau baru saja melahirkan. Pemerintah dan pemerintah daerah perlu
melibatkan warga dan komunitas rentan dalam perencanaan pengurangan risiko
bencana, agar kebutuhan kaum yang rentan dapat terakomodasi terutama dalam
situasi darurat dan pasca-bencana.
Tidak terlalu salah
jika selama ini keberadaan penyandang disabilitas kurang diperhitungkan karena
stigmatisasi yang salah dan mungkin karena jumlahnya minoritas sehingga dinomor
duakan, yang penting jika dalam situasi darurat mereka diselamatkan lebih dulu.
Jangankan relawan,
pemerintah, dalam hal ini BPBD pun dalam menyusun recana kerjanya juga masih
belum pro penyandang disabilitas. Untuk itu diperlukan adanya ‘political will’ diantara para pemegang
kuasa agar berkenan menganggarkan dana untuk pelibatan para penyandang
disabilitas dalam kegiatan peningkatan kapasitas agar bisa berperan dalam upaya
pengurangan risiko bencana, maupun dalam operasi penanggulangan bencana.
Sungguh, melalui pendidikan
dan pelatihan peningkatan kapasitas, para penyandang disabilitas bisa
dilibatkan di bagian dapur umum, membantu pendataan di posko, pencatatan
distribusi logistik untuk menghindari kesalahan kirim, membantu bidang data dan
informasi serta bidang lain sesuai kapasitasnya.
Disinilah
diperlukan kesepahaman, bahkan kesiapan mental untuk bekerja sama lintas
komunitas dalam upaya penanggulangan bencana. Sementara, BPBD yang mempunyai
fungsi Komando dan Koordinator harus lebih peduli kepada aktivitas komunitas
yang secara mandiri berupaya meningkatkan kapasitas secara mandiri, dengan
melakukan ‘pembinaan’ yang
terstruktur, agar terjadi komunikasi yang semakin harmonis.[eBas]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar